Minggu, 18 Juli 2010

KAITAN ILMU PENDIDIKAN DAN MATEMATIKA

BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam matematika. Prestasi matematika siswa baik secara nasional maupun internasional belum menggembirakan. Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) melaporkan bahwa rata-rata skor matematika siswa tingkat 8 (tingkat II SLTP) Indonesia jauh di bawah rata-rata skor matematika siswa internasional dan berada pada ranking 34 dari 38 negara (TIMSS,1999). Rendahnya prestasi matematika siswa disebabkan oleh faktor siswa yaitu mengalami masalah secara komprehensif atau secara parsial dalam matematika.

Selain itu, belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga pengertian siswa tentang konsep sangat lemah.Jenning dan Dunne (1999) mengatakan bahwa, kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real. Hal lain yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika kurang bermakna. Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk http://zainurie.wordpress.com/2007/04/13/pembelajaran-matematika-realistik-rme/menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika. Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan agar pembelajaran bermakna (Soedjadi, 2000; Price,1996; Zamroni, 2000).

Menurut Van de Henvel-Panhuizen (2000), bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika Berdasarkan pendapat di atas, pembelajaran matematika di kelas ditekankan pada keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari. Selain itu, perlu menerapkan kembali konsep matematika yang telah dimiliki anak pada kehidupan sehari-hari atau pada bidang lain sangat penting dilakukan.[1]

BAB II

PEMBAHASAN

1. Syarat-Syarat Ilmu Pengetahuan

Ilmu Pengetahuan itu ialah uraian yang sistematis dan metodis tentang suatu hal atau suatu masalah. Oleh karena ilmu pengetahuan itu menguraikan tentang sesuatu, maka haruslah ilmu pengetahuan itu mempunyai persoalan, mempunyai masalah yang akan dibicarakan. Persoalan atau masalah yang dibicarakan dalam ilmu pengetahuan itu merupakan obyek atau sasaran dari ilmu pengetahuan tersebut.

Dalam ilmu pengatahuan kita membedakan dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal. Yang dimaksud dengan obyek material adalah bahan atau masalah yang menjadi sasaran pembicaraan atau penyelidikan dari suatu ilmu pengetahuan. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek formal adalah sudut tinjauan dari penyelidikan atau pembicaraan suatu ilmu pengetahuan.

Selanjutnya dari batasan ilmu pengetahuan diatas mengharuskan bahwa uraian dari suatu ilmu pengetahuan harus metodis.

Yang dimaksud dengan metodis disini adalah bahwa dalam mengadakan pembahasan serta penyelidikan untuk suatu ilmu pengetahuan itu harus menggunakan cara-cara atau metode yang ilmiah. Beberapa metode ilmiah tersebut ialah metode observasi, metode eksperiment, metode angket dan questionnaire, metode test, metode pengumpulan, dan sebagainya.

Untuk penyelidikan suatu ilmu pendidikan tertentu belum tentu suatu metode itu dapat dipergunakan. Misalnya, dalam penyelidikan ilmu alam atau ilmu kimia maka tidak cocok kiranya menggunakan metode angket tetapi lebih tepatnya menggunakan metode eksperiment.

Dari uraian diatas kita dapat menganbil kesimpulan bahwa suatu ilmu pengetahuan harus memenuhi tiga syarat pokok yaitu:

1. suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai obyek tertentu (kuhusnya obyek formal).

2. suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan metode-metode tertentu yang sesuai.

3. suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan sistematika tertentu.

Disamping ketiga syarat diatas, maka dapat dimajukan sebagai syarat-syarat tambahan bagi suatu ilmu pengetahuan ialah antara lain: Suatu ilmu pengetahuan harus memiliki dinamika, Suatu ilmu pengetahuan harus praktis, dan Suatu ilmu pengetahuan harus diabadikan untuk kesejahteraan umat manusia.[2]

2. Ilmu Pendidikan Sebagai Ilmu

Kalau ilmu pendidikan mempunyai persyaratan-persayaratan yang dimaksud, maka ilmu pendidikan tersebut dapat dikatakan ilmu pengetahuan, tetapi sebaliknya jika ilmu pendidikan tersebut tidak memiliki persyaratan tersebut maka tidak dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan. Untuk itu sampai dimanakah pemenuhan persyaratan itu dalam ilmu pendidikan, maka dapat dikemukakan sebagai bertikut:

a) Ilmu pengetahuan harus mempunyai obyek

Dalam ilmu pendidikan yang menjadi obyek atau sasaran pembahasan yaitu yang menyangkut problema pendidikan secara umum, atau hal-hal yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam proses pendidikan.

Mengenai obyek ilmu pendidikan secara luas dikemukaan oleh Drs. Amir Daien Indrakusuma yaitu: anak didik, pendidik, materi pendidikan, methodologi pengajaran, evaluasi pendidikan, alat-alat pendidikan, milieu ( lingkungan), dan dasar dan tujuan pendidikan.

Setiap Ilmu Pengetahuan harus memiliki sasaran atau masalah tertentu yang menjadi pokok pembahasan (obyek). Obyek yang berbentuk sesuatu yang berwujud, seperti misalnya : Ilmu Kimia, Fisiologi dan sebaginya, dan kadang-kadang obyek tersebut dapat berbentuk sesuatu yang abstark, seperti misalnya: Ilmu ketuhanan.

Kadng-kadang di dalam ilmu pengetahuan dikenal juga dua macam obyek yaitu : obyek materiel dan obyek Formil. Obyek materiel yaitu bahan atau masalah yang menjadi sasaran pembicaraan atau penyelidikan suatu ilmu pengetahuan. Sedangkan obyek formil iyalah sudut peninjauan atau penyelidikan sebagian seginya saja.

b) Ilmu pengetahuan harus disusun secara sistematis

Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa sistematika dalam ilmu pengetahuan sangat relatif dan subyektif, maksudnya tidak ada keharusan sistematika yang harus dipakai dan hal itu tergantung pada kecenderungan ahli-ahli itu sendiri dalam mempergunakanya.

c) Ilmu pengetahuan hatus mempunyai methodologi tertentu atau methodis

Metode meliputi segala cara yang dipakai unntuk mengumpulkan data menganalisa dan kemudian disusun menjadi satu kebulatan.

Methode-methode yang banyak dipakai dan lazim di dalam pegumpulkan data dan penyusunan ilmu pengetahuan iyalah : method questonaire, methode observasi, methode ekperiment, methodetest, methode induksi, method deduksi

Menurut sistemnya ilmu pengetahuan dikenal adanya dua macam ilmu pengetahuan:

1) Ilmu pengatahuan murni

Ilmu pengatahuan murni ialah bermaksud untuk menelaah sesuatu secara tooritis dan sistematis. Penyelidikan dilakukan secara seksama untuk mendapatkan kebenaran semata-mata.

2) Ilmu pengetahuan yang dipraktekan

Ilmu pengetahuan yang dipraktekan kadang-kadang disebut juga ilmu pengetahuan terpakai di mana ilmu pengetahuan ini mencari dasar-dasar atau pokok-pokok yang berguna bagi pemecahan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari.[3]

Dengan menempatkan kedudukan ilmu pendidikan didalam sistematika ilmu pengetahuan, maka akan diuraikan dibawah ini mengenai Ilmu Pengetahuan Sebagai Ilmu Normatif dan Ilmu Pengetahuan Sebagai Ilmu Teoritis Dan Praktis.

a. Ilmu Pengetahuan Sebagai Ilmu Normatif

Pandangan filsafat tentang manusia sangat besar pengaruhnya terhadap konsep serta praktek-praktek pendidikan. Karena pandangan filsafat itu menentukan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seorang pendidik atau suatu bngsa yang melaksanakan pendidikan. Nilai-nilai tidak diperoleh hanya dari praktek dan pengalaman memdidik., tetapi secara normatifi bersumber dari norma masyarakat, norma filsafat dan pandangan hidup, malah juga dari keyakinan keagamaan yang dianut seseorang.

Dengan demikian ilmu pendidikan diarahkan pada perbuatan mendidik yang bertujuan. Dan tujuan itu ditentukan oleh nilai yang dijunjung tinggi oleh seseorang. Sedangkan nilai itu sendiri merupakan ukuran yang bersifat normative, maka dapatt kita tegaskan bahwa ilmu pendidikan adalah ilmu yang bersifat normatif.

b. Ilmu Pengetahuan Sebagai Ilmu Teoritis Dan Praktis.

Pengertian teoritis disini di sini diartikan sebagai pemikiran yang disusun secara teratur dan sistematis. Unsure pokok yang tersusun dalam pemikiran yang teoritis antara lain:

1. Yang menyangkut tujuan. Gambaran manusia yang sebagaimana yang menjadi norma, dalil asasi antropologi yang memungkinkan terjadinya proses didik.

2. Apakah anak didik dididik sebagai mahluk yang dapat dididik, yang mempunyai kemungkinan untuk dididik.[4]

3. Kedudukan Ilmu Pendidikan

Untuk mengetahuan kedudukan ilmu pendidikan diantara ilmu-ilmu pengetahua yang lain, kita penggunaan penggolongan seperti dibawah ini :

Ilmu pengetahuan digolongkan kedalam lima kelompok yaitu :

1. Matematika, yaitu ilmu-ilmu yang bersifat “serba pasti”. Termasuk golongan matematika antara lain ialah ilmu berhitung (Arithmatika), Ilmu aljabar, ilmu ukur (Geometri), dan ilmu Gaya (Mekhanika).

2. Fisika, yaitu ilmu-ilmu yang bersifat “kealaman” termasuk dalam golongan fisika ini antara lain : ilmu alam (fisika), ilmu kimia, ilmu tanah (Geologi), dan ilmu pertambangan (mineralogy).

3. Biologi, yaitu ilmu-ilmu yang mempelajari “alam hidup”(ilmu Hayat). Termasuk dalam golongan ilmu hayat ini diantaranya :ilmu tumbuh-tumbuhan (botanai), ilmu hewan termasuk ilmu manusia (zoology), juga ilmu manusia dalam arti Anthropologi, dan ilmu-ilmu bangsa-bangsa atau Ethnologi.

4. Kemasyarakatan-kejiwaan (Social Sciences), yaitu ilmu-ilmu yang mempelajari masalah-masalah kejiwaan dan masalah sosial manusia. Termasuk didalamnya antara lain : ilmu ethika, ilmu logika, ilmu jiwa, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu ekonomi, sosiologi, dan sebaginya.

5. Metafisika, yaitu ilmu-ilmu yang bersifat kefilsafatan. Termasuk didalamnya antara lain : ajaran tentang yang ada (Ontologia), ajaran tentang manusia (Anthropologi-Filsafi), ajaran tentang alam (Cosmologi), ajaran tentang Tuhan (Theodicee), dan sebaginya.[5]

4. Obyek-Obyek Ilmu Pendidikan

Obyek-obyek ilmu pendidikan itu ialah :

1. Anak didik, yaitu pihak yang menjadi obyek pokok dari pendikan.

2. Pendidik, yaitu pihak yang merupakan subyek dari pelaksanaan pendikan.

3. Materi pendidikan, yaitu bahan-bahan atu pengalaman-pengalaman belajar yang disusun menjdi suatu kurikulum.

4. Metodologi pengajaran, yaitu memuat cara-cara bagaimana menyajikan materi pendidikan kepada anak didik.

5. Evalusi pendidikan, yaitu cara-cara bagaimana mengadakan penilaian terhadap hasil-hasil belajar murid.

6. Alat-alat pendidikan, yaitu langkah-langkah atau tindakan-tindakan guna menjaga kelangsungan pekerjaan pendidikan.

7. Milieu atau lingkungan sekitar, yaitu keadan-keadaan yang turut berpengaruh terhadap hasil pendidikan.

8. Dasar dan tujuan pendidikan, yaitu landasan yang menjadi fondament dari segala kegiatan pendidikan, dan kearah mana anak didik dibawa.[6]

5. Ilmu-Ilmu Bantu Ilmu Pendidikan

Ilmu-olmu bantu yang perlu untuk ilmu pendidikan antar lain ialah :

1. Ilmu-ilmu Biologi, misalnya : embriology, fisiologi, anatomi pathologi. Keadaan-keadaan dan proses dalam tubuh sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak. Kelainan-kelainan pada tubuh dapat menyebabkan kelainan-kelainan pada jiwa anak. Kesemuan ini dapat menimbulkan problem-problem dalam pendidikan.

2. Ilmu Jiwa seperti : Ilmu Jiwa umum, Ilmu Jiwa perkembangan, Ilmu Jiwa Sosial. Pengetahuan-pengetahuan tentang ilmu jiwa ini terutama Ilmu Jiwa Perkembangan adalah sangat penting guna mengadakan penyesuaian-penyesuaian dalam pedidikan.

3. Ilmu-ilmu sosial, seperti : sosiologi, ekonomi, hukum, Antropologi. Keadan-keadaan dalam masyarakat seperti ekonomi rakyat, tata hidup dan tata hukuman, kebudayaan, semua mempunyai pengaruh langsung terhadap perkembangan jiwa anak.

4. Ilmu-ilmu normatif seperti Ethika, fisafah, estetika dan sebagainya. Ilmu-ilmu inilah yang merupakan sumber-sumber norma, yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan, yaitu pemampakan norma-norma susila.[7]

6. Ilmu Pendidikan Dalam Konteks Pembelajaran Matematika

Hakekat pendidikan matematika pada prinsipnya membantu peserta didik agar berpikir kritis, bernalar efektif, efisien, bersikap ilmiah, disiplin, bertanggung jawab, berjiwa keteladanan, percaya diri disertai dengan iman dan takwa. Karena itu, tugas guru matematika adalah membantu peserta didik agar memahami dan menghayati prinsip dan nilai matematika, sehingga tumbuh daya nalar, berpikir logis, sistematik, kritis, kreatif, cerdas, mencintai keindahan, bersikap terbuka, dan rasa ingin tahu.[8]

Mitzel (1982) mengatakan bahwa, hasil belajar siswa secara langsung dipengaruhi oleh pengalaman siswa dan faktor internal. Pengalaman belajar siswa dipengaruhi oleh unjuk kerja guru. Bila siswa dalam belajarnya bermakna atau terjadi kaitan antara informasi baru dengan jaringan representasi maka siswa akan mendapatkan suatu pengertian. Mengembangkan pengertian merupakan tujuan pengajaran matematika. Karena tanpa pengertian orang tidak dapat mengaplikasikan prosedur, konsep, ataupun proses.

Dengan kata lain, matematika dimengerti bila representasi mental adalah bagian dari jaringan representasi (Hiebert dan Carpenter , 1992). Umumnya, sejak anak-anak orang telah mengenal ide matematika. Melalui pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari mereka mengembangkan ide-ide yang lebih kompleks, misalnya tentang bilangan, pola, bentuk, data, ukuran dsb. Anak sebelum sekolah belajar ide matematika secara alamiah. Hal ini menunjukkan bahwa siswa datang ke sekolah bukanlah dengan kepala “kosong” yang siap diisi dengan apa saja.

Pembelajaran di sekolah akan menjadi lebih bermakna bila guru mengaitkan dengan apa yang telah diketahui anak. Pengertian siswa tentang ide matematik dapat dibangun melalui sekolah, jika mereka secara aktif mengaitkan dengan pengetahuan mereka.[9]

Latar Belakang Konon dalam pelaksanaan pembelajaran matematika sekarang ini pada umumnya guru masih mendominasi kelas, siswa pasif (datang, duduk, nonton, berlatih, ... , dan lupa). Guru memberitahukan konsep, siswa menerima bahan jadi. Demikian juga dalam latihan, dari tahun ke tahun soal yang diberikan adalah soal yang itu-itu juga tidak bervariasi, hanya berkisar pada pertanyaan apa, berapa, tentukan, selesaikan. Jarang sekali bertanya dengan menggunakan kata mengapa, bagaimana, darimana, atau kapan.

Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika, berusaha untuk mengubah kondisi di atas, yaitu dengan membuat skenario pembelajaran yang dimulai dari konteks kehidupan nyata siswa (daily life). Selanjutnya guru memfasilitasi siswa untuk mengangkat objek dalam kehidupan nyata itu ke dalam konsep matematika, dengan melalui tanya-jawab, diskusi, inkuiri, sehingga siswa dapat mengkontruksi konsep tersebut dalam pikirannya. Dengan demikian siswa belajar melalui ‘doing math, hands on – activity’. Penerapan pendekatan kontekstual sejalan dengan tumbuh-kembangnya matematika itu sendiri dan ilmu pengetahuan secara umum. Matematika tumbuh dan berkembang bukan melalui pemberitahuan, akan tetapi melalui inkuiri, kontruksivisme, tanya-jawab, dan semacamnya yang dimulai dari pengamatan pada kehidupan sehari-hari yang dialami secara nyata. Hakekat Pembelajaran Matematika Belajar matematika adalah suatu proses (aktivitas) berpikir disertai dengan aktivitas afektif dan fisik. Suatu proses akan berjalan secara alami melalui tahap demi tahap menuju ke arah yang lebih baik, kesalahan adalah bagian dari proses pembelajaran.[10]

7. Sistem Pembelajaran Matematika Yang Efektif

a. Menggunakan sistem Pendekatan Open-ended

Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar, selain sebagai sumber dari ilmu yang lain juga merupakan sarana berpikir logis, analis, dan sistematis. Sebagai mata pelajaran yang berkaitan dengan konsep-konsep yang abstrak, maka dalam penyajian materi pelajaran, matematika harus dapat disajikan lebih menarik dan sesuai dengan kondisi dan keadaan siswa. Hal ini tentu saja dimaksudkan agar dalam proses pembelajaran siswa lebih aktif dan termotivasi untuk belajar. Untuk itulah perlu adanya pendekatan khusus yang diterapkan oleh guru.

Selama ini rendahnya hasil belajar matematika siswa lebih banyak disebabkan karena pendekatan, metode, atau pun strategi tertentu yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran masih bersifat tradisional, dan kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan pola pikirnya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Akibatnya kreatifitas dan kemampuan berpikir matematika siswa tidak dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itulah guru perlu memilih cara mengajar atau pendekatan yang dapat membantu mengembangkan pola pikir matematika siswa.

Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, kreatif dalam mencari solusi dari suatu permasalahan yang dihadapi dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi (Zamroni, 2000).

Poppy (2003:2) menyatakan bahwa salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang lebih berorientasi pada aktivitas serta kreativitas siswa yaitu pendekatan open-ended problem. Hal ini didasari oleh pendapat Shimada (1997:1) yang menyatakan bahwa pendekatan open-ended adalah pendekatan pembelajaran yang menyajikan suatu permasalahan yang memiliki metode atau penyelesaian yang benar lebih dari satu, sehingga dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh pengetahuan/pengalaman menemukan, mengenali, dan memecahkan masalah dengan beberapa teknik. Lebih lanjut Poppy (2002:2) menyatakan bahwa keleluasaan berpikir melalui pendekatan open-ended problem membawa siswa untuk lebih memahami suatu topik dan keterkaitannya dengan topik lainnya, baik dalam pelajaran matematika maupun dengan mata pelajaran lain dan dalam kehidupan sehari-hari.

Pendekatan Open-ended sebagai salah satu pendekatan dalam pembelajaran matematika merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan pola pikirnya sesuai dengan minat dan kemampuan masing-masing. Hal ini disebabkan karena pada pendekatan Open-ended formulasi masalah yang digunakan adalah masalah terbuka. Masalah terbuka adalah masalah yang diformulasikan memiliki multijawaban (banyak penyelesaian) yang benar. Di samping itu, melalui pendekatan Open-ended siswa dapat menemukan sesuatu yang baru dalam penyelesaian suatu masalah, khususnya masalah yang berkaitan dengan matematika. Dengan dasar ini, maka pendekatan Open-ended dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar.

Menurut Suherman dkk. (2003) problem yang diformulasikan memiliki multijawaban yang benar disebut problem tak lengkap atau disebut juga Open-ended problem atau soal terbuka. Siswa yang dihadapkan dengan Open-ended problem, tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada cara bagaimana sampai pada suatu jawaban. Dengan demikian bukanlah hanya satu pendekatan atau metode dalam mendapatkan jawaban, namun beberapa atau banyak pendekatan atau metode yang digunakan.

Sifat “keterbukaan” dari suatu masalah dikatakan hilang apabila hanya ada satu cara dalam menjawab permasalahan yang diberikan atau hanya ada satu jawaban yang mungkin untuk masalah tersebut. Pernyataan ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Shimada (1997:1) yaitu:

“… ‘open-ended approach,’ an ‘incomplete’ problem is presented first. The lesson then proceeds by using many correct answers to the given problem to provide experience in finding something new in the process. This can be done through combining students own knowledge, skills, or ways of thinking that have previously been learned.”

Sudiarta (Poppy, 2002:2) mengatakan bahwa secara konseptual open-ended problem dapat dirumuskan sebagai masalah atau soal-soal matematika yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memiliki beberapa atau bahkan banyak solusi yang benar, dan terdapat banyak cara untuk mencapai solusi itu. Contoh penerapan masalah Open-ended dalam kegiatan pembelajaran adalah ketika siswa diminta mengembangkan metode, cara atau pendekatan yang berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan bukan berorientasi pada jawaban (hasil) akhir.

Pembelajaran dengan pendekatan Open-ended diawali dengan memberikan masalah terbuka kepada siswa. Kegiatan pembelajaran harus mengarah dan mengantarkan siswa dalam menjawab masalah dengan banyak cara serta mungkin juga dengan banyak jawaban yang benar, sehingga merangsang kemampuan intelektual dan pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru.

Tujuan dari pembelajaran Open-ended problem menurut Nohda (Suherman, dkk, 2003;124) ialah untuk membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematika siswa melalui problem posing secara simultan. Dengan kata lain, kegiatan kreatif dan pola pikir matematika siswa harus dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimiliki setiap siswa.

Pendekatan Open-ended memberikan kesempatan kepada siswa untuk menginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya untuk mengelaborasi permasalahan. Tujuannya tiada lain adalah agar kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal dan pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa terkomunikasikan melalui proses pembelajaran. Inilah yang menjadi pokok pikiran pembelajaran dengan pendekatan Open-ended, yaitu pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif antara matematika dan siswa sehingga mendorong siswa untuk menjawab permasalahan melalui berbagai strategi.

Pembelajaran dengan pendekatan Open-ended mengharapkan siswa tidak hanya mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada proses pencarian suatu jawaban. Suherman, dkk (2003) mengemukakan bahwa dalam kegiatan matematika dan kegiatan siswa disebut terbuka jika memenuhi ketiga aspek berikut:

1. Kegiatan siswa harus terbuka. Yang dimaksud kegiatan siswa harus terbuka adalah kegiatan pembelajaran harus mengakomodasi kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu secara bebas sesuai kehendak mereka.

2. Kegiatan matematika merupakan ragam berpikir. Kegiatan matematika adalah kegiatan yang di dalamnya terjadi proses pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam dunia matematika atau sebaliknya.

3. Kegiatan siswa dan kegiatan matematika merupakan satu kesatuan. Dalam pembelajaran matematika, guru diharapkan dapat mengangkat pemahaman dalam berpikir matematika sesuai dengan kemampuan individu. Meskipun pada umumnya guru akan mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran sesuai dengan pengalaman dan pertimbangan masing-masing. Guru bisa membelajarkan siswa melalui kegiatan-kegiatan matematika tingkat tinggi yang sistematis atau melalui kegiatan-kegiatan matematika yang mendasar untuk melayani siswa yang kemampuannya rendah. Pendekatan uniteral semacam ini dapat dikatakan terbuka terhadap kebutuhan siswa ataupun terbuka terhadap ide-ide matematika.

Pada dasarnya, pendekatan Open-ended bertujuan untuk mengangkat kegiatan kreatif siswa dan berpikir matematika secara simultan. Oleh karena itu hal yang perlu diperhatikan adalah kebebasan siswa untuk berpikir dalam membuat progress pemecahan sesuai dengan kemampuan, sikap, dan minatnya sehingga pada akhirnya akan membentuk intelegensi matematika siswa.[11]

b. Berorientasi pada Siswa

Agar tujuan pembelajaran Matematika dapat tercapai maksimal, maka harus diupayakan agar semua siswa lebih mengerti dan memahami materi yang diajarkan daripada harus mengejar target kurikulum tanpa dibarengi pemahaman materi. Dalam prakteknya, pembelajaran berorientasi pada siswa ini dapat dilaksanakan dengan cara pendampingan siswa satu persatu atau per kelompok. Penjelasan materi dan contoh pengerjaan soal diberikan secara klasikal di depan kelas. Kemudian ketika siswa mengerjakan latihan soal guru (beserta asistennya) keliling untuk memperhatikan siswa secara personal. Tugas guru adalah membantu siswa agar dapat menyelesaikan tugasnya sampai benar. Siswa yang pandai akan mendapat perhatian yang kurang sementara siswa yang lemah akan mendapat perhatian yang lebih intensif.

Hal yang paling esensial ketika mendampingi (terutama bagi yang berkemampuan rendah) adalah menumbuhkan keyakinan dalam diri siswa bahwa saya (baca: siswa) bisa dan mampu mengerjakan soal. I can do it. Guru harus berusaha menghilangkan persepsi dalam diri siswa bahwa matematika itu sulit dan mengusahakan agar siswa memiliki pengalaman bahwa belajar matematika itu mudah dan menyenangkan. Kiranya model pembelajaran ini dapat berjalan efektif jikalau kapasitas siswa setiap ruang adalah berkisar 15 – 20 siswa. Tetapi jika lebih, maka pembelajaran model yang demikian tetap dapat berlangsung namun harus dibantu oleh beberapa guru atau asisten.

Usaha selanjutnya adalah mengusahakan bagaimana agar suasana ruang kelas yang digunakan untuk belajar siswa adalah kondusif. Dengan kata lain tata letak perabot kelas tidak harus diatur secara “formal”. Sering kita jumpai, ada siswa yang malas belajar ketika harus duduk tenang dan serius. Mereka lebih senang dan nyaman ketika belajar sambil tidur-tiduran di atas karpet. Menyikapi hal ini guru sebaiknya memberi kebebasan kepada siswa untuk belajar atau mengerjakan soal latihan di atas bangku atau di lantai.

Ada juga siswa yang dalam belajarnya harus mendengarkan musik. Memang, musik tidak berkaitan langsung dengan matematika. Musik bukan merupakan alat peraga dalam pembelajaran matematika. Namun musik memainkan peran dalam membantu untuk menciptakan kenyamanan belajar di kelas. Musik hanya merupakan pengiring ketika para siswa mengerjakan soal. Sehingga musik dapat membuat siswa lebih nyaman ketika belajar matematika. Namun, dalam hal ini etika dan menghargai teman lain juga perlu diperhatikan. Rasanya tidak mungkin jika dalam satu kelas tersebut lalu guru memberi kebebasan kepada siswa membawa tape, radio yang berukuran besar. Tapi, hal ini dapat dilakukan misalnya memberi izin kepada siswa untuk menggunakan walkman, atau lainnnya yang penting tidak mengganggu konsentrasi siswa lainnya.

Selain tersebut, dijumpai juga siswa yang senang “ngemil” atau makan-makanan yang ringan seperti permen, kerupuk atau lainnya. Menyikapi siswa yang demikian tentunya guru juga tidak dapat melarang serta merta kepada siswa untuk makan di dalam kelas. Pada intinya, apapun yang dapat menjadikan siswa nyaman dan senang untuk belajar matematika sebaiknya oleh sang guru tidak dilarang secara keras. Berikan kebebasan bergerak dan befikir kepada siswa yang tentunya juga tetap dalam batas-batas kewajaran.[12]

c. Matematika Realistik (MR)

Matematika Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Pembelajaran MR di kelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain.

Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah-masalah.

Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontektual atau sesuai dengan pengalaman siswa, sehingga siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horisontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematiknya ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Melalui proses matematisasi horisontal-vertikal diharapkan siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).

Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran MR, berikut ini diberikan contoh pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Pecahan di SD diinterpretasi sebagai bagian dari keseluruhan. Interpretasi ini mengacu pada pembagian unit ke dalam bagian yang berukuran sama. Dalam hal ini sebagai kerangka kerja siswa adalah daerah, panjang, dan model volume. Bagian dari keseluruhan juga dapat diinterpretasi pada ide pempartisian suatu himpunan dari objek diskret.

Dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa dibawa ke “situasi” informal. Misalnya, pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bagian yang sama (misalnya pembagian kue) sehingga tidak terjadi loncatan pengetahuan informal anak dengan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).

Setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah pecahan. Ini sangat berbeda dengan pembelajaran konvensional (bukan MR) di mana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.

Jadi, pembelajaran MR diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain

Pembelajaran MR memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika berdasarkan pada masalah realistik yang diberikan oleh guru. Situasi realistik dalam masalah memungkinkan siswa menggunakan cara-cara informal untuk menyelesaikan masalah. Cara-cara informal siswa yang merupakan produksi siswa memegang peranan penting dalam penemuan kembali dan pengkonstruksian konsep. Hal ini berarti informasi yang diberikan kepada siswa telah dikaitkan dengan skema (jaringan representasi) anak. Melalui interaksi kelas keterkaitan skema anak akan menjadi lebih kuat sehingga pengertian siswa tentang konsep yang mereka konstruksi sendiri menjadi kuat. Dengan demikian, pembelajaran MR akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan pengertian siswa.[13]

BAB III

PENUTUP

1. Syarat-syarat ilmu pengetahuan

a. Suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai obyek tertentu (kuhusnya obyek formal).

b. Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan metode-metode tertentu yang sesuai.

c. Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan sistematika tertentu.

d. Suatu ilmu pengetahuan harus memiliki dinamika, suatu ilmu pengetahuan harus praktis, dan suatu ilmu pengetahuan harus diabadikan untuk kesejahteraan umat manusia.

2. Ilmu pendidikan sebagai ilmu yaitu suatu Ilmu pengetahuan harus mempunyai obyek, Ilmu pengetahuan harus disusun secara sistematis, Ilmu pengetahuan hatus mempunyai methodologi tertentu atau methodis.

3. Menurut sistemnya ilmu pengetahuan dikenal adanya dua macam ilmu pengetahuan: Ilmu pengatahuan murni, dan Ilmu pengetahuan yang dipraktekan

4. Kedudukan ilmu pengetahuan digolongkan kedalam lima kelompok yaitu :Matematika, Fisika, Biologi, Kemasyarakatan-kejiwaan (Social Sciences), dan Metafisika.

5. Obyek-obyek ilmu pendidikan meliputi Anak didik, Pendidik, Materi pendidikan, Metodologi pengajaran, Evalusi pendidikan, Alat-alat pendidikan, Milieu atau lingkungan sekitar, dan Dasar dan tujuan pendidikan.

6. Ilmu-ilmu bantu ilmu pendidikan antar lain Ilmu-ilmu Biologi, Ilmu Jiwa, Ilmu-ilmu sosial, dan Ilmu-ilmu normatif.

7. Hakekat pendidikan matematika pada prinsipnya membantu peserta didik agar berpikir kritis, bernalar efektif, efisien, bersikap ilmiah, disiplin, bertanggung jawab, berjiwa keteladanan, percaya diri disertai dengan iman dan takwa.

8. Sistem pembelajaran matematika diantarnya Menggunakan sistem Pendekatan Open-ended, Berorientasi pada Siswa dan pembelajaran Matematika Realistik (MR).

DAFTAR PUSTAKA

ü Indarkusuma, Amir Daien. 1973. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional.

ü Anshari, M Hufi. 1983. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta : Usaha Nasional.

ü TIM DOSEN FIP-FKIP Malang. 2003. Pengantar Dasar Kependidikan. Surabaya : Usaha Nasional.

ü http://rbaryans.wordpress.com/2007/07/01/kompetensi-profesional-dan-kompetensi akademik-guru-matematika/

ü http://zainurie.wordpress.com/2007/04/13/pembelajaran-matematika realistikrme/

ü http://educare.e-fkipunla.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=38 Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika

ü http://Jafar.com/ Pembelajaran-Matematika-Dengan-Pendekatan-Open-Ended .html

ü http:// Abdul Halim Fathani..wordpress.com/2007/04/13/Membuat Belajar Matematika Menjadi Bergairah-rme/



[1] http://zainurie.wordpress.com/2007/04/13/pembelajaran-matematika-realistik-rme

[2] Drs. Amir Daien Indarkusuma. Pengantar Ilmu Pendidikan. (Surabaya : Usaha Nasional. 1973), hal 9-14

[3] Drs. H. M Hufi Anshari. Pengantar Ilmu Pendidikan. (Jakarta : Usaha Nasional. 1983) hal.9-18

[4] TIM DOSEN FIP-FKIP Malang. Pengantar Dasar Kependidikan. (Surabaya : Usaha Nasional. 2003), hal 22-31

[5] Drs. Amir Daien Indarkusuma. Pengantar Ilmu Pendidikan. Op. CIt, hal 19-20

[6] Drs. Amir Daien Indarkusuma. Pengantar Ilmu Pendidikan. Op. CIt, hal 23

[7] Drs. Amir Daien Indarkusuma. Pengantar Ilmu Pendidikan. Op. CIt, hal 24

[8] http://rbaryans.wordpress.com/2007/07/01/kompetensi-profesional-dan-kompetensi-akademik-guru-matematika/

[9] http://zainurie.wordpress.com/2007/04/13/pembelajaran-matematika-realistik-rme/

[10] http://educare.e-fkipunla.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=38 Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika

[11] http://Jafar.com/ Pembelajaran-Matematika-Dengan-Pendekatan-Open-Ended.html

[13] http://zainurie.wordpress.com/2007/04/13/pembelajaran-matematika-realistik-rme/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar